AMBON,SentralNusanara.com- Tjoa Tinnie Pinontoan, ahli waris kepemilikan tanah tempat berdirinya Buddha Center Ambon, mengungkap sejumlah dugaan manipulasi dan penyalahgunaan wewenang terkait pembangunan dan kepemilikan pusat kegiatan umat Buddha tersebut.
Dalam keterangannya di Ambon, kepada media,Senin (10/11/2025)Tinnie menjelaskan bahwa gugatan terhadap Wilhelmus Jawerissa dilakukan karena yang bersangkutan diduga menggunakan nama DPD Walubi Maluku dalam kegiatan pembangunan dan pengelolaan Buddha Center di atas tanah milik keluarganya.
“Saya menggugat dia sebagai Ketua Walubi atas pembangunan Buddha Center di atas tanah orang tua saya,” ujar Tinnie.
“Tapi di persidangan, pengacara dia justru menyampaikan bukti bahwa dia baru menjabat Ketua Walubi sejak tahun 2022 hingga 2027, sesuai SK yang dia lampirkan.”ungkapnya.
Menurut Tinnie, pengakuan tersebut menimbulkan kejanggalan. Sebab, berdasarkan dokumen yang dimilikinya, Wilhelmus sudah menggunakan nama Ketua DPD Walubi Maluku sejak tahun 2017, bahkan sempat menerima hibah kendaraan dari Pemerintah Provinsi Maluku atas nama jabatan tersebut.
“Kalau dia baru jadi Ketua Walubi tahun 2022, lalu siapa dia sebelum itu? Padahal ada bukti hibah mobil dari Pemprov tahun 2017 yang ditandatangani atas nama Ketua DPD Walubi Maluku,” kata Tinnie.
Ia juga menyebut ada indikasi penggunaan nama Walubi dalam pendaftaran sertifikasi tanah Wihara di Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2019, serta dugaan keterlibatan pihak tersebut dalam pengajuan proposal pembangunan Buddha Center yang berlangsung sekitar tahun 2016–2017.
Menurut Tinnie, gugatan terhadap Wilhelmus berawal dari penggunaan Buddha Center sebagai fasilitas resmi oleh yang bersangkutan untuk menerima kunjungan pejabat, seperti Kapolda dan Pangdam, dengan mengatasnamakan Ketua Walubi.
Pengadilan Negeri Ambon, kata dia, telah mengabulkan gugatan pihaknya. Namun, Wilhelmus mengajukan banding dengan alasan bahwa tanah dan bangunan tersebut merupakan milik Yayasan Vihara Suarna Giri Tirta.
Tinnie menegaskan, dalam akta yayasan itu tidak terdapat keterangan mengenai kepemilikan tanah atau bangunan.
“Dalam akta yayasan hanya tercatat aset berupa uang, tidak ada tanah atau bangunan. Kalau uang dibelikan tanah, harusnya tercatat dalam akta,” jelasnya.
Lebih lanjut, Tinnie menuduh bahwa akta yayasan yang digunakan Wilhelmus merupakan hasil manipulasi dari akta asli milik orang tuanya yang dibuat pada tahun 1992 oleh Notaris Tuasikal Abua. Akta versi 2007, yang kini digunakan oleh pihak tergugat, diduga telah diganti dan mencantumkan nama Wilhelmus sebagai ketua tanpa dasar hukum yang sah.
“Akta aslinya tahun 1992 kami pegang fotokopinya. Akta tahun 2007 itu hasil manipulasi. Saat ini juga sedang diproses di Polres,” ungkapnya.
Tinnie pun berharap agar Kementerian Agama dan Pemerintah Provinsi Maluku meninjau ulang pengakuan terhadap figur-figur yang mengatasnamakan diri sebagai tokoh umat Buddha di daerah tersebut.
“Selama ini banyak umat awam yang tertipu karena mengira dia benar-benar ketua Walubi. Bahkan ada yang dinikahkan olehnya. Padahal dia belum terdaftar di Kesbangpol Maluku, sedangkan yang terdaftar resmi adalah Permabudhi,” tegas Tinnie.
Ia menilai kasus ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah agar lebih berhati-hati dalam memberikan legitimasi kepada individu yang mengklaim mewakili organisasi keagamaan tanpa dasar hukum yang jelas.







