Ambon, SentralNusantara.com – Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Provinsi Maluku, Suanthie John Laipeny, menyoroti dugaan praktik tidak transparan yang dilakukan pihak Bank Rakyat Indonesia (BRI) di wilayah kerja Cabang Saumlaki, khususnya pada Unit BRI Tepa dan Unit BRI Tiakur di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya.
Laipeny mengatakan, banyak nasabah di wilayah tersebut mengeluhkan dua persoalan serius, yakni pemotongan ganda dalam transaksi melalui aplikasi BRImo serta adanya kredit bermasalah (KUR) dengan jaminan yang tidak sesuai perjanjian.
“Banyak sekali nasabah BRI di Kota Tepa yang protes dan marah atas pemotongan sepihak. Sekali transaksi, potongannya bisa dua kali dengan nilai berbeda. Ini jelas merugikan masyarakat,” tegas Laipeny kepada SentralNusantara.com, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, berdasarkan ketentuan perbankan, penggunaan aplikasi BRImo tidak dikenakan biaya administrasi tetap. Biaya hanya berlaku untuk transaksi tertentu, seperti transfer ke sesama Himbara atau antarbank, masing-masing sebesar Rp6.500 per transaksi, atau Rp2.500 per transaksi jika menggunakan fitur BI-FAST.
“Masalahnya, kenapa satu transaksi bisa terpotong dua kali? Ini yang tidak bisa dibiarkan dan harus dijelaskan oleh pihak BRI,” ujarnya.
Laipeny mengaku, kasus ini sudah berulang kali disampaikan ke pihak BRI Unit Tepa di Kecamatan Babar Barat, namun hingga kini tidak ada tanggapan resmi dan dana yang dipotong pun belum dikembalikan. Ia menilai sistem perbankan di daerah itu seolah dibiarkan memanipulasi transaksi yang akhirnya merugikan masyarakat.
“Ini bentuk pembiaran. Seolah-olah karena masyarakat di pulau-pulau jauh dari jangkauan, mereka bisa dibodohi dengan mudah,” katanya dengan nada tegas.
Selain persoalan transaksi BRImo, Laipeny juga menyoroti keluhan warga di Desa Klis, Pulau Moa, yang merupakan wilayah kerja BRI Unit Tiakur. Sejumlah nasabah Kredit Usaha Rakyat (KUR) di desa tersebut melaporkan adanya tindakan sepihak dari pihak bank terkait penyitaan jaminan.
“Awalnya jaminan hanya berupa hewan ternak. Tapi ketika ada keterlambatan pembayaran, rumah dan sertifikat tanah mereka justru disita tanpa surat peringatan resmi seperti SP1 atau SP2. Ini sangat meresahkan,” ungkapnya.
Menurut Laipeny, tindakan tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan sistem perbankan terhadap pelayanan di daerah. Ia menilai BRI seharusnya menjalankan prinsip keadilan dan memberikan perlindungan terhadap nasabah kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
“Masyarakat kecil jadi korban. Mereka tidak pernah diberi penjelasan yang layak, hanya tahu aset mereka tiba-tiba disita. Padahal KUR itu program untuk membantu rakyat, bukan menjerat mereka,” tandasnya.
Laipeny meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) agar segera turun tangan melakukan pemeriksaan terhadap BRI di wilayah kerja Cabang Saumlaki, termasuk BRI Unit Tepa dan Tiakur. Menurutnya, kejadian ini tidak boleh dianggap sepele karena telah menimbulkan keresahan luas di masyarakat.
“Jangan anggap masyarakat di Tepa dan Moa tidak paham aturan. Mereka juga punya hak untuk mendapat pelayanan yang jujur dan transparan. Kasihan masyarakat kecil di pulau-pulau, tapi justru mereka yang paling dirugikan,” ujarnya.
Ia memastikan, Fraksi Gerindra DPRD Maluku akan terus mengawal persoalan ini hingga ada kejelasan dan tanggung jawab dari pihak perbankan.






