Sikap Gibran ini memunculkan tanda tanya di kalangan jurnalis lokal dan masyarakat. Sebab, kunjungan pejabat negara umumnya disertai ruang dialog dengan media, terutama untuk menyampaikan pesan kebijakan dan hasil peninjauan kepada publik.
Beberapa awak media di lokasi sempat mencoba mendekat untuk mewawancarai Wapres, namun dihalangi oleh tim protokol yang menyampaikan bahwa “semua pernyataan akan disampaikan oleh Gubernur.” Situasi itu membuat sejumlah jurnalis menilai, akses informasi publik kembali terbatasi di tengah kunjungan pejabat tinggi negara.
Padahal, keberadaan media di daerah menjadi jembatan penting antara pemerintah pusat dan masyarakat, terutama dalam menjelaskan arah kebijakan dan manfaat program nasional. Kunjungan kerja tanpa ruang komunikasi dengan pers dikhawatirkan hanya menjadi seremonial tanpa nilai transparansi.
Beberapa pengamat komunikasi publik di Ambon menilai keputusan Gibran untuk tidak memberikan keterangan langsung dapat menimbulkan kesan eksklusif dan kurang terbuka terhadap publik.
“Pejabat publik, apalagi wakil presiden, semestinya menggunakan momentum kunjungan daerah untuk berinteraksi dengan masyarakat dan media. Jika justru menghindari pertanyaan, itu bisa dibaca sebagai ketidaksiapan atau ketidakterbukaan,” ujar mereka.
Kritik juga datang dari beberapa organisasi pers lokal yang menilai kejadian ini menunjukkan lemahnya penghormatan terhadap fungsi media di daerah. Wartawan yang bertugas di lapangan berharap ke depan tim protokol kepresidenan memberi ruang lebih luas bagi jurnalis untuk meliput secara objektif dan profesional.
Kunjungan Wapres Gibran di Kota Tual dan Maluku Tenggara sejatinya diharapkan membawa semangat percepatan pembangunan wilayah kepulauan. Namun sikap menutup diri terhadap pertanyaan publik justru menimbulkan catatan kritis : pemerintahan yang modern bukan hanya soal digitalisasi dan proyek fisik, tetapi juga keterbukaan dan komunikasi dua arah dengan rakyat melalui media.