Ambon, SentralNusantara.com — Ditengah upaya digitalisasi layanan perbankan, aroma penyimpangan kembali menyeruak dari tubuh Bank Maluku-Malut. Proyek Bank Indonesia Fast Payment (BI-Fast), yang semestinya mempercepat dan mempermudah transaksi antarbank dengan biaya murah Rp2.500 per transaksi, justru menuai sorotan tajam publik.
Sumber internal bank menyebutkan, sistem BI-Fast mengalami gangguan berat sejak Mei 2025. Selama berbulan-bulan, layanan transfer cepat itu tak berfungsi sebagaimana mestinya. Ribuan nasabah mengeluh karena transaksi gagal dan koneksi sistem terputus. Namun yang mengundang tanda tanya, pembayaran kepada pihak penyedia jasa tetap dilakukan setiap bulan, meski sistem tidak berjalan.
“Setiap bulan tetap dibayar Rp35.100.000 ke PT Praweda Ciptakarsa Informatika, padahal sistemnya error sejak lama. Kalau bukan fiktif, lalu apa namanya?” ungkap salah satu sumber internal, Jumat (17/10).
Ia menambahkan, tidak pernah ada laporan evaluasi kinerja atau bukti keberhasilan pemulihan sistem dari pihak penyedia. Ironisnya, pihak manajemen disebut justru tengah menyiapkan vendor baru, tanpa adanya pertanggungjawaban dari penyedia lama.
“Seharusnya vendor lama dikenakan penalti. Tapi mereka tetap dibayar, sementara bank berencana menggandeng pihak lain. Artinya, biaya proyek bisa membengkak dua kali lipat,” tegas sumber tersebut.
Dugaan adanya intervensi sejak awal pengadaan juga mencuat. Proyek BI-Fast disebut telah diarahkan kepada satu perusahaan tertentu bahkan sebelum proses tender berlangsung.
“Dari awal Dirut sudah tunjuk nama vendor. Pengadaan hanya formalitas,” ungkap sumber lain yang enggan disebutkan namanya.
Akibat macetnya sistem BI-Fast, nasabah Bank Maluku-Malut kini terpaksa kembali menggunakan layanan Real Time Online (RTO) dengan tarif lebih mahal Rp6.500 per transaksi.
“Yang rugi masyarakat. Seharusnya BI-Fast bikin transaksi efisien, tapi malah bikin susah,” keluh seorang nasabah di kawasan Mardika, Ambon.
Di sisi lain, lemahnya pengawasan internal membuat persoalan ini semakin pelik. Direktur Utama Syahrisal Imbar disebut jarang berada di tempat karena sering melakukan perjalanan dinas.
“Dalam sebulan bisa lebih dari 20 hari di luar daerah. Akibatnya proyek besar seperti BI-Fast tidak diawasi langsung,” kata sumber tersebut.
Sementara jajaran komisaris di bawah pimpinan Nadjib Bachmid juga dianggap tidak menjalankan fungsi kontrol dengan baik. Tidak ada evaluasi, tidak ada teguran, dan tidak ada transparansi dalam pelaporan proyek. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa ada pembiaran terhadap potensi pelanggaran di dalam tubuh bank daerah tersebut.
Melihat berbagai kejanggalan itu, publik mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan melakukan audit investigatif terhadap proyek BI-Fast Bank Maluku-Malut.
“Ini lembaga keuangan milik daerah, dan yang dipertaruhkan adalah uang publik serta kepercayaan masyarakat,” ujar salah satu pemerhati perbankan di Ambon.
Ia menegaskan, audit harus mencakup seluruh proses pengadaan, pembayaran vendor, hingga perjalanan dinas jajaran direksi. “Kalau dibiarkan, kasus ini bisa menjadi pintu masuk dugaan korupsi sistematis di tubuh bank daerah. Jangan tunggu sampai kepercayaan publik benar-benar hilang,” tandasnya.







