Kelangkaan Minyak Tanah di Maluku, Ketua Komisi II DPRD Soroti Perpres 191/2014

Ambon, SentralNusantara.com – Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya minyak tanah (Mitan), kerap terjadi di Maluku menjelang hari-hari besar keagamaan seperti bulan Puasa, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru. Masalah ini kembali menjadi perhatian publik, mendorong Ketua Komisi II DPRD Provinsi Maluku, Irawady, SH, untuk memberikan penjelasan terkait penyebab utama kelangkaan tersebut.

Dalam konferensi pers di ruang Komisi II DPRD Maluku, Rumah Rakyat Karang Panjang, Ambon, Kamis (09/01/2025), Irawady mengungkapkan bahwa kelangkaan Mitan tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya permintaan selama hari-hari besar keagamaan, tetapi juga akibat kendala struktural yang terkait dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014.

“Permasalahan utama adalah aturan dalam Perpres tersebut, yang menjadi kendala dalam distribusi dan penggunaan Mitan,” ujar politisi Partai Nasdem Maluku itu.

Irawady menjelaskan bahwa minyak tanah digunakan tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sektor perikanan di kapal, mesin ketinting, dan speed boat untuk wisata bahari di Maluku.

Di sektor perikanan, Mitan digunakan untuk mesin lampu dan kompor memasak di kapal. Namun, regulasi melarang penggunaannya sebagai bahan bakar penggerak kapal, meskipun kenyataannya banyak nelayan yang masih mengandalkan Mitan untuk mesin penggerak kapal. Hal ini menyebabkan kuota Mitan cepat habis.

“Realita di lapangan menunjukkan bahwa sekitar 80 persen nelayan masih menggunakan Mitan untuk mesin penggerak mereka. Belum lagi speed boat antar-pulau yang juga memakai Mitan sebagai bahan bakar,” tambah Irawady.

Irawady juga menyoroti dampak kelangkaan Mitan di Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Para nelayan di wilayah tersebut terpaksa menghentikan operasional karena tidak tersedia bahan bakar, membuat mesin tempel mereka tak terpakai.

Sebagai alternatif, nelayan harus mengganti komponen mesin mereka agar dapat menggunakan bahan bakar lain seperti Pertalite. Namun, biaya penggantian ini mencapai Rp3 juta, yang menjadi beban berat bagi nelayan kecil.

Irawady menegaskan bahwa Komisi II DPRD Provinsi Maluku akan mencatat dan membawa masalah ini ke Pemerintah Pusat, khususnya Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Ia berharap agar aturan dalam Perpres Nomor 191 Tahun 2014 dapat ditinjau ulang untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan sektor perikanan di Maluku.

“Permasalahan ini membutuhkan perhatian penuh dari Pemerintah Pusat agar solusi yang tepat dapat segera diberikan,” tutup Irawady.

Pos terkait