Ambon, SentralNusantara.com – Masyarakat Adat Dusun Eri, Negeri Nusaniwe, Kota Ambon, menyatakan penolakan tegas dan keras terhadap rencana pembangunan site radar milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) melalui Pangkalan Udara (Lanud) Pattimura Ambon di atas wilayah adat mereka.
Pembangunan ini merujuk pada SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2024, yang memberi lampu hijau penggunaan kawasan hutan untuk proyek strategis pertahanan negara. Namun bagi masyarakat adat Erie, keputusan ini tidak hanya sepihak, tapi juga melanggar hukum dan adat.
“Kami masyarakat adat menolak dengan keras. Radar milik TNI AU itu rencananya dibangun di atas tanah kami, Lesiapa Sama Suru Kota Api. Ini bukan tanah negara, tapi tanah adat!” seru Hansye Peea, Koordinator Tim Inisiator Masyarakat Adat Dusun Erie, Sabtu (26/7/2025).
Hansye menegaskan bahwa wilayah tersebut merupakan hutan adat, bukan kawasan hutan negara sebagaimana yang disebut dalam surat keputusan pemerintah.
“Negara ini berdiri di atas tanah adat. Kami tidak anti pembangunan, tapi pembangunan jangan dibangun di atas penderitaan rakyat,” tegasnya.
Penolakan ini juga diperkuat oleh salah satu anggota Tim Insiator, Piter Silooy, yang menyebut keputusan pemerintah sebagai bentuk perampasan hak secara legal.
“Sesuai Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, masyarakat adat adalah subjek hukum yang memiliki hak atas wilayah adatnya, termasuk hutan adat,” ujar Silooy.
Ia menilai, pemerintah dan TNI AU telah melecehkan prinsip keadilan sosial dan demokrasi dengan mengabaikan kewajiban untuk melakukan konsultasi dan persetujuan dari masyarakat adat setempat.
“Kalau negara bisa ambil tanah adat begitu saja tanpa dialog, lalu di mana letak keadilannya? Ini bentuk kolonialisme baru. Bedanya sekarang pakai stempel dan seragam,” sindirnya tajam.
Masyarakat Adat Erie menuntut agar rencana pembangunan dihentikan dan dibuka ruang dialog bersama Pemerintah Negeri Nusaniwe, tokoh adat, serta instansi terkait. Mereka juga mendesak Pemerintah Kota Ambon dan Pemerintah Provinsi Maluku untuk tidak tinggal diam.
“Kami bukan pengganggu negara, kami pemilik tanah ini. Jangan obral tanah leluhur demi proyek radar tanpa bicara dengan kami. Jika negara masih punya nurani, duduk dan dengar suara kami,” tutup Silooy.