Sekda Lalai, Paripurna KUA-PPAS APBD-P Maluku Molor Dua Jam

Ambon, SentralNusantara.com – Rapat paripurna DPRD Maluku dengan agenda penandatanganan nota kesepakatan Kebijakan Umum Perubahan Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan tahun anggaran 2025 berlangsung penuh drama. Sidang yang dijadwalkan Selasa (23/9/2025) pukul 20.00 WIT itu molor hingga lebih dari dua jam sebelum akhirnya dibuka sekitar pukul 22.12 WIT.

Penundaan ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan mencerminkan kebuntuan komunikasi antara legislatif dan eksekutif. Sumber persoalan disebut-sebut terletak pada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) Maluku, Sadali Ie.

Informasi yang diterima menyebut molornya paripurna berawal dari ketidakpuasan anggota dewan terhadap dokumen KUA-PPAS. Pokok-pokok pikiran DPRD yang merupakan hak konstitusional wakil rakyat diduga tidak diakomodir TAPD. Kondisi ini memicu kekecewaan, sehingga pimpinan dan anggota Badan Anggaran (Banggar) memilih meninggalkan ruang rapat dan mendatangi Kantor Gubernur Maluku untuk bertemu langsung dengan Gubernur Hendrik Lewerissa.

“Kalau Sekda sebagai Ketua TAPD sejak awal bisa menjembatani kepentingan dewan dan pemerintah, situasi seperti ini tidak perlu terjadi,” ungkap salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya.

Sekda Sadali Ie yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi dinilai tidak mampu mengurai persoalan. Ketidakmampuan itu berujung pada keterlambatan agenda penting yang dihadiri Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) serta undangan resmi lainnya.

Situasi kian pelik karena Gubernur Hendrik Lewerissa baru tiba dari dinas luar di Jakarta pada Selasa petang. Meski belum sempat mendalami penuh dokumen KUA-PPAS, Gubernur akhirnya turun tangan melakukan lobi politik terbatas bersama pimpinan dewan. Hasilnya, jalan tengah berhasil dicapai, meski sidang paripurna tertunda lebih dari dua jam dan sejumlah undangan terpaksa pulang karena kecewa.

Keterlambatan paripurna ini menimbulkan preseden buruk, tidak hanya bagi DPRD tetapi juga citra Pemerintah Provinsi Maluku. Peristiwa ini memperlihatkan lemahnya koordinasi internal pemerintahan, khususnya pada jajaran TAPD yang dipimpin Sekda. Kasus ini sekaligus menegaskan dua hal, lemahnya peran Sekda sebagai manajer birokrasi sekaligus negosiator politik anggaran, serta bergantungnya stabilitas komunikasi pemerintah daerah pada intervensi langsung Gubernur.

Rangkaian molornya paripurna KUA-PPAS APBD Perubahan 2025 memberi sinyal bahwa DPRD dan Pemprov Maluku harus membangun komunikasi yang lebih sehat, transparan, dan akomodatif. Tanpa itu, agenda pembangunan berpotensi tersandera oleh tarik-menarik kepentingan politik dan birokrasi.

Peristiwa ini juga mengingatkan publik bahwa penyusunan APBD bukan sekadar ritual angka, tetapi sarat kepentingan politik dan rentan konflik. Pertanyaan yang mengemuka kini adalah sejauh mana transparansi dan akuntabilitas anggaran bisa terjaga jika fondasi koordinasi eksekutif dan legislatif rapuh.

Paripurna memang akhirnya terlaksana malam itu. Namun reputasi Sekda Sadali Ie jelas tercoreng, bukan hanya karena gagal meredam konflik, tetapi juga karena membiarkan Gubernur turun tangan di saat kritis demi menghindari krisis politik anggaran yang lebih besar.

Pos terkait