Tual, SentralNusantara.com – Polemik berkepanjangan tentang kepastian hukum terkait perkara dugaan penggunaan ijazah palsu terjawab sudah.
Polemik yang melahirkan “perang dingin” antara Abdul Halik Roroa (pelapor) dan anggota DPRD Kota Tual Hasim Rahayaan (terlapor) pun berakhir.
Kepastian berakhirnya “perang dingin” tersebut setelah Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia dalam petikan putusannya (Pasal 226 juncto Pasal 257 KUHAP) Nomor 1405 K/Pid/2023.
Dikutip dari MalukuPost.com, kepada awak media di Tual, Senin (8/1/2024), kuasa hukum pelapor Lukman Matutu menjelaskan, kliennya melakukan laporan terkait dugaan penggunaan ijazah palsu yang dilakukan oleh Hasim Rahayaan (terlapor).
Laporan dugaan penggunaan Ijasah palsu tersebut didasari atas ketentuan undang-undang sesuai dengan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi. Namun pihak kepolisian yang menangani masalah ini tidak profesiaonal mengajukan tuntutan berdasarkan laporan tertulis yang disampaikan oleh pelapor.
“Polisi malah menggiring dalam laporan itu masuk ke rana surat palsu, sehingga dalam prosesnya unsur yang dimaksudkan oleh klien kami (pelapor) atas dugaan menggunakan ijazah palsu itu tidak terpenuhi melalui proses penyelidikan oleh pihak penyidik Polres Tual,” terang Matutu.
“Setelah kami telusuri lebih jauh ternyata ada beberapa hal pokok yang mengakibatkan penggiringan perkara itu tidak memenuhi unsur (diluar substansi), sehingga mereka (penyidik Polres Tual) menghentikan proses penyelidikan,” katanya menambahkan.
Penghentian penyelidikan, lanjut Matutu, adalah tindakan yang belum final kecuali di pengadilan.
“Pihak penyidik juga berdalih dengan alasan tidak mencukupi bukti, mereka melanjutkan dengan proses hukum atas laporan yang dilakukan oleh klien kami bahwa itu adalah laporan memfitnah dan meninsta,” katanya.
Atas rekayasa yang dibuat oleh penyidik Polres Tual (saat itu masih berstatus Polres Maluku Tenggara) tersebut, kliennya diposisikan sebagai terdakwa atas laporan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Hasim Rahayaan (terlapor).
“Alhamdulilah kami memulai uji hukum dari proses praperadilan yang berakhir pada putusan perkara pokok melalui proses peradilan, ternyata majelis hakim berpendapat bahwa pengaduan yang dilakuan oleh klien kami telah memenuhi syarat hukum untuk diproses,” ungkap Matutu.
Salah satu pengacara senior Kepulauan Kei tersebut menyatakan, laporan kliennya tersebut terpenuhi dua alat bukti yakni pangkalan data dan surat keterangan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LL Dikti).
Hal tersebut karena pertimbangan pengadilan bahwa lembaga yang punya kewenangan untuk menentukan seseorang berstatus legal sebagai mahasiswa adalah LL Dikti.
“Apa yang kami sampaikan ini tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Tual Nomor 10/Pid.B/2023/PN Tul halaman 48 jelas-jelas mempertimbangkan apa yang kami sampaikan. Dengan dasar putusan ini, kami akan melakukan upaya-upaya meminta pihak Polres Tual untuk segera memproses kembali laporan yang diajukan klien kami, sehingga yang bersangkutan dapat berproses sampai ke pengadilan. Namun karena putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan atas kedudukan klien kami sebagai terdakwa itu, maka yang bersangkutan diputus bebas,” ungkap Matutu.
Atas keputusan itu, maka langkah hukum yang ditempuh oleh Kejaksaan Negeri Tual adalah melakukan upaya kasasi.
“Alhamdulilah, MA telah mempertimbangkan bahwa apa yang telah diputuskan oleh PN Tual sudah tepat dan benar. Sehingga semua alasan hukum yang disampaikan oleh kejaksaan melalui jaksa pentutut umum atas putusan ini ditolak oleh MA dalam petikan putusannya (Pasal 226 juncto Pasal 257 KUHAP) Nomor 1405 K/Pid/2023. Putusan ini sudah inkracth/berkekuatan hukum tetap,” bebernya.
Lukman Matutu yang juga Ketua LBH ARI Kota Tual tersebut menegaskan, selaku kuasa, pihaknya akan mendesak Polres Tual untuk melakuan proses penyidikan berdasarkan laporan kliennya yaitu memberlakukan asas lex specialis derogat legi generalis.
Dalam asas lex specialis derogat legi generalis ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama.
Dari ketentuan pidana, pihak kepolisian wajib menerapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 68 ayat 1 dan 2) terhadap saudara Hasim Rahayaan, bukan menggunakan pasal hukum pidana terkait dengan surat palsu.
“Ini adalah kekeliruan yang dilakukan oleh pihak kepolisian (Polres Tual) karena mereka tidak menunjukan proses penyelidikan secara profesional. ini sangat memalukan karena mereka memaksakan kehendak agar melakukan kriminalisasi terhadap klien kami atas laporan, dan nyatanya putusan pengadilan menyatakan lain. Kami minta agar pihak Polres Tual segera memproses laporan klien kami ini, jika tidak maka kami akan laporkan ke Mabes Polri melalui Polda Maluku,” pungkasnya.