Tiakur, SentralNusantara.com – Dugaan Praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Camat Dawelor-Dawera, Demianus Imuly, dan bendahara, Ike Raprap, kembali mencoreng wajah birokrasi pemerintahan Kabupaten MBD dalam skandal terbaru, keduanya diduga secara sistematis memotong gaji pegawai honorer tanpa mekanisme yang jelas dan transparan.
Tiga sumber yang enggan disebutkan namanya mengonfirmasi kepada SentralNusantara.com, Sabtu (13/12), bahwa bendahara kecamatan Dawelora Dawera Ike Raprap diduga melakukan pemotongan gaji tanpa dasar yang jelas.
Sumber tersebut menyatakan, gaji pokoknya sebesar Rp1.800.000 per bulan kerap dipotong hingga ia hanya menerima Rp2.000.000 untuk tiga bulan kerja. “Bulan April, Mei, Juni, bendahara potong gaji sebesar Rp3.400.000 dari total Rp5.400.000. Kami tidak diberi alasan yang jelas,” ujarnya. Ia menambahkan, gaji periode September hingga Desember juga dipotong Rp1.000.000 setiap pencairan.
Sumber lain menambahkan bahwa sistem pembayaran dilakukan secara manual dengan tanda tangan di daftar penerimaan. “Kami sudah meminta bukti pemotongan melalui STS, tetapi hingga kini belum diberikan. Camat dan bendahara diduga bekerja sama untuk menggelapkan hak kami,” kata korban lainnya.
Konfirmasi Bendahara
Ike Raprap, Bendahara Kecamatan Dawelor-Dawera, saat dikonfirmasi melalui telepon Jumat, (13/12) membantah tuduhan ini. “Pemotongan itu kalau beta ada makan, baru bisa bilang beta makan. Beta merasa dirugikan,” ujarnya dengan nada emosi dengan menutup telpon. Ia juga mengklaim telah berkoordinasi dengan Bupati dan Asisten Sekda, serta berjanji memberikan STS di akhir Desember.
Namun, sumber tersebut menyebut pernyataan tersebut tidak sesuai fakta. Mereka menegaskan bahwa pembayaran gaji seharusnya dilakukan manual bukan melalui transfer.
Dugaan Intimidasi Kepala Desa
Tidak hanya pegawai honorer, kepala-kepala desa di kecamatan tersebut juga mengungkapkan praktik intimidasi oleh camat. Menurut Pelaksana Harian (PLH) Kepala Desa Wiratan, waktu itu kepada SentralNusantara.com Sabtu,(14/12) setiap desa diminta menyetor Rp. 2000.000 untuk kegiatan peringatan 17 Agustus 2024. “Jika tidak setor, camat mengancam tidak akan menandatangani rekomendasi pencairan dana desa,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa kepala desa harus menanggung biaya tambahan untuk mobilisasi masyarakat selama kegiatan. “Kami membiayai sendiri makan dan minum warga. Uang yang dikumpulkan dari desa-desa tidak jelas penggunaannya,” katanya.
Mirisnya saat diminta pertanggungjawaban keuangan tidak ada pertanggungjawaban yang diberikan,”katanya dengan nada kecewa.
KNPI dan Inspektorat Angkat Bicara
Ketua KNPI Maluku Barat Daya, Wempy H. Karey, saat di konfirmasi SentralNusantara.com di kediamannya Jumat, (13/12) mengecam keras tindakan camat dan bendahara. “Jika terbukti, mereka bisa dijerat pidana karena melanggar hak dasar seseorang sesuai Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945,” tegasnya. Karey mendesak Inspektorat dan Kejaksaan Negeri Maluku Barat Daya segera melakukan investigasi.
“Semestinya inspektorat dan kejaksaan negeri MBD jangan menutup mata dan telinga terkait kasus ini perlu di tangani secara serius,”ucap Karey
Kalau di kaji secara cermat dan terbukti benar lanjutnya bisa camat dan Bendahara pidana karena melanggar pasal tindak pidana penggelapan uang Pasal 374 KUHP atau Pasal 488 Undang-undang nomor 1 tahun 2023 dan KUHP Pasal 362
Mengambil barang milik orang lain.
Irban Wilayah III, Naomi Maahury, menegaskan bahwa pihaknya membutuhkan laporan resmi untuk menindaklanjuti kasus ini. “Kami tidak bisa langsung melakukan audit tanpa bukti konkret. Jika laporan sudah masuk, kami akan segera bertindak,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (13/12/2024).
Tuntutan Transparansi
Sumber dan kepala desa berharap ada transparansi pengelolaan anggaran di Kecamatan Dawelor-Dawera. Mereka meminta Inspektorat dan Kejaksaan bertindak tegas agar kasus ini tidak berlarut-larut. “Camat seharusnya menjadi pemimpin yang adil, bukan menggunakan jabatan untuk menindas bawahan,” ujar salah satu sumber
Diketahui, ada banyak borok yang terjadi di kantor camat yang belum terungkap. Salah satunya, utang kantor camat pun belum dilunasi dibeberapa pihak sehingga ada aset kantor camat yang disita pihak terkait. Bendahara kecamatan juga jarang berkantor. Membuat kantor kecamatan dan Kota Tiakur ibarat dapur dan teras. PEMDA dan DPRD diminta serius melihat persoalan ini,”ungkapnya
Kasus ini lanjutnya menjadi sorotan publik di Maluku Barat Daya. Masyarakat berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan permasalahan ini dan mengembalikan hak yang telah dirampas,”pungkasnya.